MANUSIA-MANUSIA “ROBOT” DUNIAWI YANG KOSONG RUHANI - Bilangan Ajaib

Post Top Ad

MANUSIA-MANUSIA “ROBOT” DUNIAWI YANG KOSONG RUHANI

MANUSIA-MANUSIA “ROBOT” DUNIAWI YANG KOSONG RUHANI

Share This


(MEMBANDINGKAN JEPANG DAN INDONESIA - part 2)
=========================
(by : Iramawati Oemar)
Tulisan ini menyambung tulisan saya sebelumnya, tepatnya 2 hari lalu, tentang masyarakat Jepang yang serba tertib, disiplin dan luar biasa rajin bahkan cenderung workaholic, yang dianggap sudah "bagus" tanpa agama dan tuhan. Sepekan pertama di Jepang, saya masih tinggal di hotel selama 4 hari, setiap hari mengikuti acara orientasi yang dijadwalkan mulai jam 10 am, sehingga saya berangkat dari hotel setelah jam 9. Saya tidak merasakan suasana keramaian yang luar biasa di stasiun, bisa naik kereta dengan leluasa, tempat duduk bebas memilih dan di jalanan pun relatif sepi karena semua orang sudah berada di gedung-gedung perkantoran. Hari ke-4 sore, kami disebar ke beberapa apartemen yang terpisah-pisah di seluruh penjuru prefecture Tokyo bahkan hingga Yokohama. Setiap kota (ward) umumnya hanya ada 2 siswa. Awal pekan depannya, Senin, kami harus sudah memulai rutinitas berangkat ke sekolah dari apartemen masing-masing. Jeng…jeng…jeng…, petualangan riil dimulai!

Senin pagi, betapa kagetnya saya melihat bayak sekali orang yang berjalan searah dengan saya, menuju stasiun, dengan langkah-langkah cepat. Semua memakai setelan jas dan yang wanita (jumlahnya tidak banyak) memakai blazer. Perjalanan dari apartemen menuju stasiun terdekat sekitar 2,5 – 3 km, menaiki 2 buah bukit pula. Selesai bukit kedua saya sudah ngos-ngosan, padahal masih harus jalan kaki lagi sekitar 700 meteran. Sesampai di stasiun, lebih heboh lagi karena semua orang berebut naik ke kereta yang baru dating, berdesakan tanpa peduli orang disekitarnya. Sampai-sampai ada petugas khusus yang disiagakan di setiap pintu gerbong untuk mendorong jubelan orang agar masuk ke dalam gerbong, sebelum dia memberi aba-aba kepada masinis untuk menekan tombol tutup pintu otomatis. Ya, jubelan orang didorong dengan keras oleh petugas berkaos tangan tebal. Ibaratnya kami ini tumpukan barang yang dipaksa masuk ke dalam gerbong. Jadi di dalam gerbong kalau tubuh kita kecil ya bisa terjepit. Dan saya termasuk kategori ini, maklum 13-12 tahun lalu saya masih relatif langsing.

Sejak itulah kemudian saya terbiasa melihat ribuan orang tiap pagi berjalan bak robot yang sudah diprogram. Mereka melangkah dengan tergesa-gesa, langkahnya sangat cepat, beberapa ada yang mampir kombini (mini market) sekedar membeli roti atau onigiri, juga dengan tergesa. Menjelang tiba di stasiun terkadang sinyal berbunyi pertanda kereta akan datang dan pintu perlintasan akan segera ditutup. Apa yang terjadi kemudian? Tanpa dikomando, berpuluh-puluh orang berlarian serentak dari kedua arah, mereka menerobos palang pintu perlintasan yang sudah mulai diturunkan. Lalu lari secepatnya menuju pintu stasiun, berebut agar bisa terangkut kereta yang beberapa detik lagi akan tiba. Saya terperangah, “oooh…, ada juga toh aksi terobos palang pintu kereta?!”
Kalau di Indonesia pelakunya para pemotor dan angkot, di Jepang pejalan kaki yang nekat menerobos pintu perlintasan, demi bisa masuk ke peron stasiun sebelum kereta masuk jalurnya.

Saya sempat berusaha mengikuti ritme mereka, tapi tak sampai sebulan saya menyerah. Untuk apa sedemikian hectic kalau setiap 2-3 menit sekali kereta berikutnya lewat? Betul, bisa jadi kereta berikutnya bukan kereta ekspres, tapi toh beda waktu tibanya tak sampai 5 menit, karena kereta ekpres biasanya hanya berhenti di stasiun transfer, sedangkan yang tidak ekspres berhenti di tiap stasiun. Toh tiap kali berhenti tak sampai semenit.

Saya lalu berpikir, apa gak stress ya setiap pagi menjalani rutinitas seperti itu? Lihatlah wajah mereka yang rata-rata tegang, pandangannya tertuju ke stasiun dan kereta yang akan datang. Apalagi kalau jalur kereta ada di lantai atas atau di bawah tanah, bisa setengah berlarian menaiki atau menuruni tangga dengan sepatu vantofel. Ampuuun, saya gak sanggup menjalani hidup seperti itu. Maklum, di Indonesia kita biasa keluar dari rumah masih sempat menyapa tetangga, tersenyum pada tukang sayur atau tukang koran yang biasa lewat, kalaupun mampir beli sarapan masih sempat bertukar sapa dengan penjualnya atau sesama pembeli. Ada sentuhan manusiawi, bukan jadi robot.

Kaki saya pun ikut protes, jadi pincang karena dipaksa berjalan tergesa ala robot. Saya pun berpikir : mulai besok saya tak akan ikut cara orang Jepang. Targetnya kan saya tiba di sekolah tidak terlambat. So, saya bisa mengukur durasi perjalanan terlama kalau saya tak naik kereta ekspres. Kalaupun saya ketinggalan kereta, toh 2-3 menit lagi akan datang kereta berikutnya. Jadi, kenapa saya tidak berangkat 5-10 menit lebih awal agar tak terburu-buru? Ya, saya menolak larut dalam ritme monoton yang membuat manusia jadi tampak mirip robot hidup, yang dipaksa tunduk pada rush hour.

Saya pun ogah jalan kaki dari apartemen ke stasiun dengan cara mirip orang gerak jalan cepat. Kalau selama ini waktu tempuh saya 20-25 menit, kalau saya jalan santai mungkin butuh waktu 30-35 menit. Lalu perjalanan dari stasiun Shibuya ke sekolah sekitar 15 menit, kalau santai maksimal jadi 25 menit. Oke, saya hanya perlu berangkat lebih awal 30 menit. No problem!  Saya bisa berangkat jam 7 dan tiba di sekolah paling telat jam 8.30.
Kenapa harus membuat tubuh dan diri kita tersiksa, jika kita bisa mengatur waktu keberangkatan?!

Saya sempat berpikir : kenapa ya mereka selalu tergesa-gesa? Bukankah itu terjadi tiap hari dan bertahun-tahun? Kenapa mereka tidak prepare lebih awal agar tak perlu tergesa? Ah, belakangan saya tahu jawabnya : mereka baru bangun pada jam yang mepet, kemudian cuci muka dan kumur-kumur, lalu berdandan dan segera berangkat kerja. Mungkin ada juga para suami yang sempat sarapan karena istri mereka sudah menyiapkan. Tapi tetap saja bangunnya mepet, sehingga ketergesaan tetap harus dijalani

Saya bisa berangkat lebih awal karena saya bangun lebih pagi, karena saya sholat Subuh. Jadi saya punya banyak waktu untuk mandi, menyiapkan sarapan, bahkan kadang memeriksa kembali tugas sekolah. Saya mensyukuri punya waktu subuh yang membuat saya tidak perlu jadi seperti robot yang harus berebut hanya demi satu tempat di kereta. Padahal, meski sudah berebut pun toh sama saja hasilnya : berdiri! Kalau mau duduk, ya harus berangkat dari titik start keberangkatan kereta.

Apa yang saya dapatkan setelah memutuskan "jadi diri sendiri" dan tidak ikut arus kehebohan rush hour? Berjalan melalui 2 buah bukit jadi tidak terlalu melelahkan, terkadang saya bertemu nenek yang sudah sangat renta sekali, orang Jepang banyak yang berusia lanjut, taksiran saya si nenek itu umurnya 90 tahun lebih. Dia berjalan tertatih dengan tongkatnya, saya senyumin si nenek, beliau balas tersenyum meski memandang saya dengan agak heran. Lama-lama si nenek terbiasa menerima senyum saya. Kalau mampir beli obento (paket makanan) saya sempatkan menyapa penjualnya. Mereka pun mau ngobrol dengan saya, bertanya apakah saya orang Malaysia atau Indonesia. Silaturahmi pun terjalin.

Tiba di stasiun, saya akan berbaris dalam antrian penumpang paling belakang. Kalau ada orang datang sesudah saya, sebelum kereta datang, saya mundur dan saya biarkan dia di depan saya. Tujuan saya memang bukan naik kereta itu. Biarkan saja semua orang dalam barisan naik, nanti hanya tinggal saya seorang. Dengan begitu saya otomatis akan berada di antrian paling depan untuk kereta berikutnya.
Kalau ternyata kereta berikutnya yang datang ternyata kereta ekspres dan saya busa duga orang akan lebih "kalap" lagi, saya menepi. Tidak perlu mundur, cukup bergeser 1 langkah dari garis kuning. Biarkan orang lain maju menempati posisi saya, toh nanti ketika pintu ditutup dan kereta berangkat, saya akan kembali ke posisi itu. Begitulah, lebih enjoy menikmati pagi hari ketimbang stress berebut kereta tiap pagi dan akan berlangsung selamanya. Kontrol waktu di tangan kita, dengan berangkat lebih awal. Bukan manusia yang diperbudak rush hour.

Oh ya, apakah semua orang selalu bersih, tertib dan disiplin dalam keadaan apapun? Tidak! Saya pernah menyaksikan orang-orang yang "keleleran" di stasiun dalam kondisi mabok karena kebanyakan minum dan tentu saja jorok, karena bisa muntah dimana-mana. Apalagi kalau malam weekend, saya pernah lihat sendiri seorang cewek kerepotan memapah pacarnya yang sudah mabok berat, naik ke atas kereta, menurunkan lagi saat tiba di stasiun tujuan. Biasanya itu kejadian malam Minggu, habis dugem mungkin. Sabtu atau Minggu pagi biasanya banyak yang keleleran (terdampar) di stasiun karena semalam mereka kemalaman habis minum-minum sehingga terlambat mengejar kereta terakhir. Maka mereka terpaksa menginap, menunggu kereta pertama esok harinya.

Pernah ketika suatu hari tepat tanggal 1 Syawal, saya berangkat dari apartemen sebelum jam 6, hendak ikut sholat Ied di SRIT. kebetulan hari itu adalah hari libur nasional di Jepang, saya lupa hari apa,  yang jelas jatuhnya jadi long week end. Saya tiba di Shibuya jam 6.30an, masih agak gelap untuk ukuran musim gugur. Saya beli kopi panas sekedar untuk menghangatkan tubuh sembari menunggu teman-teman dari daerah lain. Duduk sendiri di meeting point, mendadak seorang pria yang saya kira gila mendekati saya. Kontan saya lari. Saat itulah teman saya datang dan dia bilang itu bukan orang gila, tapi orang mabok berat habis dugem semalaman. Hmm..., maklum, gak ada aturan agama yang melarang mereka mabok. Dan yang namanya mabok, ya dimana aja sama : kelakuannya tak terkendali, mirip orang tak waras! Kembali ke soal daily live, begitulah keseharian di Tokyo dan beberapa kota besar lain di Jepang yang masyarakatnya sudah jadi "buruh" industrialisasi. Memulai hari saja sudah stress, harus berebut kereta. Di tempat kerja juga serius sekali. Bahkan pernah saya magang di salah satu perusahaan di prefecture Saitama (bersebelahan dengan Tokyo), disana bahkan waktu merokok pun diatur. Setiap jam ada sirine berbunyi, sirine tanda "smooking time". Maka berhamburanlah para "ahli hisap" menuju smooking area. Disana mereka berlomba menyedot rokoknya, sebab hanya ada waktu 5 menit, setelah itu sirine kembali berbunyi, tanda harus kembali ke tempat kerja. Nah lho, mana sempat nyedot rokok sambil menyeruput kopi dan berbagi gorengan sembari ngobrol dengan teman?! Semua sibuk dengan sebatang rokoknya sendiri.

Pernah juga ketika magang di sebuah perusahaan berkategori world class company dan sudah berusia 100 tahun lebih (disana perusahaan yang sudah 100 tahun lebih survive dan eksis, dianggap sukses dan mature), yang berlokasi di Akihabara (the most famous electronic city, especially for tourist), saya menjumpai sebuah resto aneh. Saat itu jam istirahat kantor, jam 12 sampai jam 1 siang. Kali ini saya tak bawa bekal dan hendak maksi diluar bersama teman.  Kami melewati beberapa resto dan kedai makan, selain mencari yang menunya cocok juga yang tidak terlalu ramai. Cukup sulit ternyata, sebab hampir semua diserbu orang kantoran se-Akihabara.
Sampailah saya di depan sebuah rumah makan khusus masakan ramen, anehnya disitu tak tersedia kursi. Modelnya mirip bar, pramusaji berada di balik meja, pengunjung tinggal menyerahkan secarik kertas yang keluar dari mesin yang terletak dekat pintu masuk. Bentuknya mirip mesin nomor antrian di bank, RS, dll. Pembayaran sudah dilakukan di mesin, pembeli tinggal serahkan kertas struknya. Pramusaji akan menyiapkan pesanan dalam waktu singkat, menyajikannya dan pembeli melahap mie ramen itu dalam keadaan berdiri. Ya, berdiri! Selesai sruput mie kuah, minum, lalu pergi.

Teman saya (kebetulan magang kali itu saya dapat partner teman Indonesia juga) menawarkan : "mau nyobain makan disini?". "Ogah! Pagi sudah berdiri di kereta, masa iya makan juga berdiri. Dari pagi berangkat kerja sudah buru-buru, kerja juga diburu-buru, sekarang jam istirahat, mau makan pun masih diburu-buru?! Kapan kita menyenangkan diri sendiri?".
Teman saya pun sepakat, dia illfeel melihat resto itu, seolah gambaran diri kita hanyalah robot semata, yang istirahat pun dikejar waktu. Sepertinya hidup hanya untuk kerja kerja dan kerja melulu.

Alhamdulillah selama saya kerja praktek/magang di 5 perusahaan, mereka mau memaklumi jam sholat saya. Biasanya mereka akan tanya dulu, berapa menit yang saya butuhkan dan apakah saya perlu ruangan khusus untuk sholat. Setelah saya jelaskan, biasanya langsung disepakati di ruangan mana saya boleh sholat.

Rush hour berikutnya adalah petang hari selepas jam 5, biasanya mulai jam 6-an pm. Tapi rush hour petang tak seheboh rush hour pagi, karena meski hampir semua kantor/perusahaan official offixe hour-nya berakhir jam 5 pm, tapi kebanyakan dari para pekerjanya tidak pulang "teng-go". Mereka terus menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas. Umumnya jam 6-7 pm baru meninggalkan kantor.
Itupun tak langsung ke stasiun dan pulang ke rumah, melainkan... "nominication"!

Nominication bukanlah kosa kata bahasa Jepang apalagi Inggris. Nomu - nomimasu artinya "minum", lalu dimodifikasi menjadi seperti kata bentukan bahasa Inggris menjadi "nominication" yang maknanya adalah "aktivitas minum-minum sehabis bekerja seharian".
Ini seperti sudah tradisi, habit, setiap pulang kerja, mereka "membayar" lelah seharian dengan mampir ke tempat minum, memesan osake (sake) atau bir. Minum sampai puas, melupakan semua masalah dan stress sepanjang hari tadi. Biasanya mereka berkelompok, entah dengan rekan sekantor atau janjian dengan teman dari perusahaan lain. Nominication ini bisa berjam-jam. Katakanlah mulai jam 7 malam, mereka paling cepat baru selesai jam 10 malam bahkan bisa lebih, apalagi kalau Jum'at malam. Hampir semua orang bekerja melakukan itu, rutin, tiap malam mereka menghabiskan sisa harinya di kedai-kedai minum. Disanalah mereka bisa terbahak-bahak sekerasnya bersama teman-teman, yang tidak bisa mereka lakukan di kantor.
Baru pulang ke rumah ketika malam sudah larut, sampai di rumah tinggal berendam di ofuro (tempat mandi air panas), menghilangkan penat tubuh, setelah itu tidur. Pantas saja kalau esok paginya tidak bisa bangun terlalu pagi. Bangunnya sengaja mepet jam berangkat kerja, cukup hanya cuci muka dan berkumur, pakai setelan kemeja yang setrikaannya licin, pakai jas, berangkat ke stasiun. Maka jangan heran, kalau aromanya kurang sedap. Meski jas terlihat rapi dan mahal, tapi sumpah, terjepit diantara ratusan pria kantoran di pagi hari jauh dari aroma wangi, hehehee...

Selain nominication, ada satu lagi aktivitas yang umum dilakoni para pria pekerja di Jepang, yaitu bermain "Pachinko", semacam mesin judi dingdong.
Di semua kota, dekat stasiun, biasanya ada tempat persewaan permainan pachinko. Apalagi di daerah pusat perkantoran atau kawasan industri. Bahkan gedung pachinko-nya gede, beberapa lantai. Biasanya di luar gedung sudah ditulis besar-besar, di tempat itu tersedia berapa unit mesin pachinko. Semakin banyak mesin tersedia, artinya peluang untuk bisa mendapatkan mesin yang 'available' cukup besar. Lalu disanalah mereka menghibur diri, larut dalam keasyikan bermain pachinko.

Dua hal : nominication dan pachinko, seperti 2 sisi mata uang yang menutup hari kerja. Stress, lelah seharian, ditebus dengan kesenangan minum dan main pachinko. Kedua hal itu yang membuat mereka baru pulang ke rumah larut malam. Keluarga jadi terabaikan, kalah prioritas dibanding acara nominication bersama komunitasnya, atau bagi yang lebih suka asyik sendiri, pachinko lebih menarik untuk dilakoni.

Itulah rutinitas seharian para pekerja di Jepang. Berangkat sudah stress karena selalu tergesa-gesa dan berebutan naik kereta, di tempat kerja dikejar target, pulang menghibur diri dengan minum dan main judi.
Maka tak heran jika disana tingkat stress sangat tinggi.

Tak jarang saya pernah cerita teman yang terpaksa datang terlambat karena kereta yang ditumpanginya sempat di stop, berhubung di jalur rel yang dilewati ada orang yang melompat, sengaja bunuh diri. Itu bukan hal aneh. Meski tidak terlalu sering, tapi setidaknya bukan hal mengejutkan, sudah biasa bunuh diri dengan cara melompat ke rel kereta di saat rush hour. Dijamin tak akan gagal, karena saat itu semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, hanya fokus pada kereta yang akan datang. Jadi ketika tiba-tiba ada yang melompat hanya hitungan detik sebelum kerera masuk jalur, orang baru kaget, tak ada yang sempat mencegah.

Artinya, dibalik semua yang indah dalam kehidupan masyarakat Jepang, ada juga kekosongan batin, kehampaan, yang mendorong mereka bunuh diri.
Justru karena ketiadaan harapan akan masa depan, tidak merasa bahwa akan ada kehidupan lain sesudah kematian, menyangka dunia ini sudah final, maka bunuh diri adalah jalan keluar terakhir dari semua permasalahan.
Seolah dengan begitu selesailah semuanya. Jasadnya yang hancur dilindas kereta,  tinggal dikremasi saja. Atau bagaimana, saya tak tahu penanganannya.

Mereka tidak butuh didoakan sanak keluarga dan sahabat.
Seolah hidup memang harus berakhir ketika seseorang menemui jalan buntu atas masalahnya.
Bahkan sekedar gagal masuk perguruan tinggi ternama, bisa saja memicu seorang remaja bunuh diri.
Entah karena malu, entah karena merasa dirinya gagal, entah karena merasa sudah tak ada harapan lagi, atau kombinasi dari semuanya.
Yang jelas, itu bisa terjadi karena mereka TIDAK PUNYA TUHAN, tak ada tempat mengadu, berdoa dan berharap hari esok yang lebih baik. Semua dikalkulasi hanya berdasarkan pemikiran manusia, yang indoktrinasinya hanya sebatas berlomba-lomba menggapai "kesuksesan" duniawi yang parameternya adalah materi.

Hidup di Tokyo memang berat, karena living cost sangat mahal - saat itu katanya Tokyo termasuk salah satu dari 3 kota termahal di dunia - tingkat persaingan antar individu tinggi sekali, sehingga wajar jika mereka selalu berkompetisi. Sempitnya lahan menyebabkan harga tanah sangat mahal, membeli landed home kecil saja, kurang dari 100 meter persegi, bisa semilyar harganya. Mencicilnya bisa 35 tahun, sepanjang masa kerja,  apalagi Jepang memang secara tradisional memegang konsep longlife employment. Karena seseorang yang sudah menikah harus keluar dari rumah, maka pemuda yang hendak menikah harus kejar target untuk bisa membeli rumah. Kalau landed house tak terbeli, ya tinggal di 'apato' (apartemen), atau yang lebih berduit tinggal di mansion.

Karena semua serba mahal, tak heran jika masyarakat Jepang pada umumnya pelit.  Disana nyaris tak ada cerita saling traktir. Bahkan ketika kita diajak seseorang ke suatu tempat untuk minum-minum atau untuk keperluan apapun, bayar tiket kereta yang hanya 100-200 yen saja bayar sendiri, masing-masing memasukkan koin di vending machine tiket.
Kalau haus diperjalanan, ya beli saja sebotol minuman di vending machine, cukup sebotol, tak perlu membelikan teman. Apalagi makan, pasti bayar masing-masing. Kecuali yang bersifat officially, resmi dijamu oleh kantor/perusahaan, jangan berharap anda ditraktir, oleh boss sekalipun.

Saya tak pernah berpikir ide yang baik jika kehidupan tanpa agama dan tak mengenal Tuhan. Sebagus apapun aturan duniawi dibuat.
Bayangkan, bagaimana kita akan termotivasi untuk beramal, menyisihkan sebagian penghasilan,  membagikan makanan yang kita punya, memberikan baju, sepatu dan aneka barang-barang milik kita yang masih layak pakai kepada orang lain, jika tak ada harapan untuk menabung pahala, memperbanyak amal.
Semua orientasi hidup kita hanya akan berpusat pada diri sendiri, pada urusan duniawi, pada target materialisme yang harus dicapai. Ujung-ujungnya jika merasa mentok,  bunuh diri lah jalan keluar.  Na'udzubillaahi min dzaalik.

Di Jepang, mereka yang merasakan kekosongan ruhani berujung pada 2 hal. Yang tidak berpikir panjang akan lebih memilih bunuh diri atau makin larut menenggelamkan diri pada kesibukan dunianya. Sedangkan yang mau belajar, mereka mencari dan mencari hingga menemukan cahaya ruhani dalam bentuk pengikatan diri pada agama. Itu sebabnya, bagi yang memilih ISLAM, umumnya mereka total, tidak setengah-setengah. Yang Muslimah pun tidak ragu berhijab, meski disana akan jadi "makhluk aneh".
Maklum, di Jepang yang memeluk suatu agama hanya 1%an saja. Dan Islam lebih sedikit lagi dari 1% itu.

Ketidakpahaman seseorang akan ajaran agamanya sendiri, ditambah ketidaktahuan akan kehidupan bangsa lain, membuat orang mudah tergelincir pada kesimpulan yang salah. Seorang Muslim yang tidak memahami Islam secara benar, dia akan menilai agamanya telah mengikatnya. Lalu ketika melihat ada yang tak beragama terlihat bagus duniawinya, dengan mudah disimpulkan bahwa agama tidak membantu membawa manusia pada kebaikan.

Makanya dalam filosofi Jawa ada nasihat "OJO KAGETAN, OJO GUMUNAN", artinya jangan mudah kaget dan jangan mudah terpukau, terheran-heran. Karena yang tampak di permukaan belum tentu seindah bayangan kita.
Kalau tiba saatnya mati kelak, saya ingin ada yang mendoakan saya. Kalau sayantak beragama tak tak merasa perlu mengenal Tuhan, berarti kematian kita akan sama saja dengan kematian kucing, anjing dan binatang peliharaan lainnya. Hanya ditangisi karena sedih, tapi tak ada yang merasa perlu mendoakan.

Sutedjo Bin Salkas, [27.11.17 08:40]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages